Tradisi Ritual “Ceng Beng”: Hikmat Di Kubur, Hormat Leluhur

Rendi Gunawan (kiri) dan Siswadja Muljadi alias Aseng (kanan)

BAGANSIAPIAPI,TINTANEWS.com – Sosok batik dan perempuan berbaju merah dengan membawa bekal makanan, buah-buahan dan juga hio untuk melakukan sembahyang ceng beng di pemakaman marga Tionghoa di jalan Pusara Hilir Bagansiapiapi, Kamis (05/04/2018). Hari ini merupakan hari puncak sembahyang Ceng Beng bagi mereka.

 

Turun dari becak yang mengantarkannya hingga ke gerbang masuk ke pemakaman. Awal memasuki areal pemakaman dia melakukan sembahyang denmgan memasang hio, lalu merapatkan kedua belah lututnya hingga mencapai ke tanah. Mereka lalu menjepit hio yang telah di bakar tersebut dengan kedua belah telapak tangannya lalu menghadap ke langit dan menggoyang-goyangkan lidi hio yang telah dibakar tadi. Kemudian dia berdiri dan meletakkan hio tersebut di tempat hio yang telah disediakan pada altar masuk pemakaman.

 

Tata cara sembahyang ceng beng, pertama kali masuk pintu gerbang mereka menyembah dewa. Demikian dikatakan oleh Siswadji Muljadi alias aseng kepada awak media tintanews.com ketika ditemui di areal perkuburan warga Tionghoa, Kamis (05/04/2018).

 

Dia menjelaskan bahwa pada umumnya warga Tionghoa sebelum masuk ke areal pemakaman akan melakukan sembahyang kepada dewa langit. Mereka akan berdoa kepada dewa pencipta yang menurut mereka merupakan dewa besar.

 

“Ada empat dewa sebenarnya. Pertamanya di depan sana mereka ijin dulu sama dewa langit,”tutur Siswadja Mulyadi yang kerap disapa Aseng.

 

Menurut dia, tradisi kepercayaan Kong Hu Chu, dewa langit merupakan dewa paling besar. Karena dia sebagai Tuhan Pencipta. Oleh sebab itu, Dia sembahyang dahulu diluar di altar depan pintu masuk.

 

“Orang sembahyang kelangit itu namanya sedang sembahyang dewa langit. Artinya memohon kepada dewa langit bahwa mereka akan mengadakan ritual kubur Ceng Beng. Memohon restu itu yang pertama,”katanya.

 

Selanjutnya setelah melakukan sembahyang kepada Dewa Langit, akan menuju ke ruangan yang berada di dekat pintu masuk. Di ruangan tersebut juga ada altar untuk melakukan sembahyang. Didalam ruang itu, kata Aseng  ada tiga dewa.  Biasanya yang tengah itu, lanjut Aseng,  ada Tei Pe Kong dewa rezeki.

 

“Ada juga dewa di depan itu budha yang menjaga neraka. Dia sembahyang kepada budha dulu memohon ijin, memohon petunjuk untuk orang yang ada di di surga maupun di neraka, gitu. Kepada orang-orang yang sudah meninggal,”beber Aseng.

 

“Jadi dewa langit, biasanya didalam itu ada Te Pe Kong yang kekiri itu biasanya datuk penunggu disinilah, orang dulu yang pernah tinggal disini itu dewa datuk, satu lagi juga dewa datuk tapi versinya orang Tionghoa dia juga penunggu disini tapi orang-orang Tionghoa.”jelasnya.

 

“Jadi penunggunya ada dua, yakni satu penunggu orang Tionghoa dan satu lagi penunggunya orang Melayu sini atau datuk keramat,”ujar Aseng.

 

Setelah melakukan hal itu semua dengan melakukan memasang atau membakar hio kemudian diletakkan pada altar hio tersebut, kemudian melakukan sembahyang ke dalam yaitu melakukan sembahyang kepada keluarganya di altar kubur keluarga.

 

“Kubur yang dibangun itu merupakan tulang-belulang dalam kendi yang di tanam dibuatkan kubur (Feng Shui),”kata Aseng.

 

Sedangkan sembahyang yang dilakukan pada saat acara puncaknya yang diikuti oleh semua warga merupakan sembahyang bersama untuk “arwah” yang tidak ada keluarga yang menjenguknya pada saat sembahyang ceng beng ini. Mereka semua menggunakan pakaian putih dan bawahan hitam dengan menggunakan selendang merah. Ritual sembahyang mereka di pimpin oleh seorang Suhu. Tata cara ini berlangsung bersama perwakilan marga Tionghoa masing-masing. Biasanya setiap tahun pelaksanaan acara puncak ini saling berganti Marga. Penentuan siapa untuk pelaksanaan tahun depan akan dilaksanakan dengan melakukan komunikasi dengan para “arwah”, sambil melemparkan lempengan kayu merah seperti bentuk lonjong namun terbelah dua. Sehingga kedua belahan tersebut akan dilemparkan ke lantai setelah berkomunikasi dengan “arwah”tersebut. Lempengan yang jatuh akan di catat satu persatu hingga ditentukan marga siapa yang banyak terbuka itulah pelaksanaan sembahyang Ceng Beng pada tahun selanjutnya.

 

“Jadi masing-masing kepala warga mewakili warga yang tidak tahu keluarganya.Setelah itu mereka pergi sembahyang lagi ke kelenteng. Namun biasanya, sebelum melakukan Ceng Beng di kubur mereka sembahyang dahulu ke kelenteng besar atau bisa juga setelah sembahyang Ceng Beng lalu sembahyang ke kelenteng,”ujar Aseng.

 

Lanjutnya Aseng, Kebiasaan sembahyang leluhur ini adalah bentuk sembayang masa bakti masyarakat Tionghoa kepada leluhurnya. Kenapa orang sudah meningggal kita sembahyangi? Sebut Aseng, karena pertama ada rasa hormat.

 

“Karena tidak ada dia, tidak ada kakek kita, tidak ada orang tua kita, dan tidak ada kita,”tutur Aseng.

 

“Kedua,  dengan kita sembahyang mengenang jasa-jasa kebaikan dia,kita akan menjadi orang-orang panutan. Dulu orang-orang tua kita, mungkin kakek nenek kita mungkin orang-orang sukses, gitu…!!!, dengan seperti itu, mengimajinasikan bahwa kakek saya itu dia hebat, dia besar. Kakek saya aja kaya berarti saya harus bisa mengikuti jejaknya. Mengikuti mereka sehigga saya juga ingin hidupnya sukses.hidupnya baik, begitu,” jelasnya Aseng.

 

 

Dikatakannya, Sembahyang Ceng Beng dilakukan sepuluh hari awal dan sepuluh hari akhir dari hari puncaknya. Tapi biasanya sepuluh hari awal.

“Jadi Ceng Beng itu selalu jatuh pada tanggal 5 bulan empat tahun masehi.dia selalu jatuh mengikuti tanggal lima bulan empat. Kalau dia pada tahun kabisat maka dia akan maju satu hari. Kalau ketemu bulan pebruari 29 hari maka maju satu hari berarti ranggal 4, kalau ketemu bulan pebruari 28 hari maka mundur satu hari berarti tanggal 5,”kata aseng.

 

Jadi jikalau pada tahun tersebut bulan pebruari 29 hari maka jatuhnya pada tanggal 4 april namun jika tanggal bulan pebruari 28 hari maka jatuhnya pada tanggal 5 april tahun masehi.

 

“Selagi mereka orang Tionghoa maka ritual ini tetap dilaksanakan meskinpun dimana mereka berada. Karena sejarahnya berasal dari sana (cina,red) gitu lho. Karena bagi orang Tionghoa berbakti itu adalah satu kebaikan yang paling besar,”tuturnya.

 

Jika mereka tidak bisa pulang untuk menjenguk kubur melakukan ceng beng, maka banyak cara yang mereka lakukan. Pertama mungkin ada keluarga yang dekat disini, mereka bisa titip.

 

“Tolong saya titip sedikit rezeki saya untuk sembahyang. Kemudian yang kedua mereka bisa berdoa di vihara , di kelenteng, ditempat dia tinggal dan dia sampaikan doanya itu didalam ritual dia. Menurut tradisi Tiong Hoa bahwa Ceng Beng itu tidak memandang agama mereka siapa itu. Misalkan saudara saya ada kristen mereka tetap melaksanakan tradisi Ceng Beng karena itu merupakan tradisi,”katanya.

 

“Sama dengan orang islam sebelum lebaran mereka membersihkan kubur, sama juga orang kristen sebelum paskah membersihkan kubur keluarganya,”kata aseng.

 

“Pada acara puncak nanti di undi alat yang terbuka dan tertutup. Mereka nanti berkomunikasi dengan melakukan lemparan alat berwarna merah tersebut. Makin banyak yang terbuka dan tertutup itu menyatakan iya. Tetapi jika dua duanya tertutup berarti tidak. Yang ditanya itu bukan orang hidup yang ditanya itu arwahnya. Mereka ditanya dengan minta ijin,”ujarnya.

 

Saat ini yang tergabung di multy marga Rokan Hilir ada 28 marga. Marga tionghoa di dunia itu banyak marga Tiong Hoa namun yang tergabung dengan multy marga saat ini 28 marga.

 

“Pertama kali baru 18 marga. Karena sekarang sudah tahu manfaatnya multy marga makanya sekarang sudah 28 marga yang tergabung,”pungkasnya Aseng.

(NdyNdy/adv)

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *